HADITS
MUTAWATIR DAN HADITS AHAD
MAKALAH
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata Kuliah :
Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Abdul
Kholid Ma’rufi, M. Pd. I
Disusun Oleh :
1.
Rinci
Apriani Dwi (2021115221)
2.
Sinta
Setia
Sukma (2021115226)
3.
Intan
Fitria Maharani (2021115245)
Kelas A
SEKOLAH
TINGGI ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an
merupakan wahyu dari Allah SWT yang di sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril. Sedangkan sunah adalah segala perbuatan, perkataan dan
ketetapan Nabi Muhammad SAW yang sesuai dengan syari’at syara’ maupun tidak.
Apabila
sunah dilihat dari segi riwayat, penyampaian secara lisan dari segala
keterangan Nabi Muhammad SAW, maka sunah mempunyai kualitas yang
bertingkat-tingkat, ada yang kuat dan lemah. Sedangkan dalam menyampaikan
sebuah sunah terkadang Nabi Muhammad SAW berhadapan dengan orang-orang yang
jumlahnya cukup banyak, terkadang satu atau dua orang maupun beberapa orang.
Inilah sunah dari segi kuantitasnya.
Pembagian
hadis di lihat dari segi kuantitasnya, hadis dibagi menjadi dua, yaitu hadis
mutawatir dan hadis ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang jumlah sanad
perawinya tidak terbatas pada bilangan. Sedangkan hadis ahad adalah hadis yang
jumlah sanad perawinya bisa di hitung dengan bilangan tertentu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pembagian hadis Mutawatir dan hadis Ahad?
2.
Apakah
pengertian dari hadis Mutawatir ?
3.
Apakah
syarat-syarat dari hadis Mutawatir ?
4.
Bagaimana
klasifikasi hadis Mutawatir ?
5.
Apakah
pengertian dari hadis Ahad ?
6.
Bagaimana
klasifikasi hadis Ahad ?
7.
Sebutkan
skema Hadis dalam Bagan!
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembagian Hadits Ahad dan Hadits Mutawatir
Hadis
ditinjau dari segi sedikit banyaknya rawi yang menjadi sumber berita terbagi
menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.[1]
Ulama
berbeda pendapat tentang pembagian hadis jika ditinjau dari segi kuantitas atau
sedikit-banyaknya rawi yang menjadi sumber berita.
1.
Menurut
sebagian ulama ushul fiqih dan ulama fiqih, pembagian hadis dari segi jumlah
rawinya dibagi menjadi 3 bagian, yaitu hadis Mutawatir, hadis Masyhur, dan
Hadis Ahad. Menurutnya hadis Masyhur itu berdiri sendiri dan tidak termasuk
bagian dari hadis Ahad.
2.
Menurut
kebanyakan ulama Hadis, pembagian hadis dari segi jumlah rawinya dibagi menjadi
2 bagian, yaitu hadis Mutawatir dan hadis Ahad. Ini pembagian yang lebih
praktis karena pada dasarnya hadis Masyhur tercakup dalam hadis Ahad. (Hasbi as
Shiddiqi, 1993: 200)[2]
B.
Pengertian Hadits Mutawatir
Secara bahasa, kata mutawatir
merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur yang bermakna al-tatabu’
(berturut-turut) atau مَجِئُ الشَّئِ يَتلو بعضهُ بعضاً
من غيْرِتَخَلُّلِ (datangnya sesuatu secara berturut-turut
dan bergantian tanpa ada yang menyela).[3]
Secara istilah menurut Mahmud
al-Thahhan, definisi hadis mutawatir adalah:
مَا رَوَاهُ
عَدَدٌ كَثِيرٌ تَحِيلُ العَادَةُ تَوَا طُؤُهُم عَلى الكَذِبِ
“Hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang menurut adat
kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan)”.[4]
Dari definisi diatas, menurutnya adalah
hadis atau khabar yang diriwayatkan oleh para periwayat yang banyak pada tiap
thabaqah (tingkatan/generasi) sanadnya yang menurut akal dan adat kebiasaan
mustahil para periwayat itu sepakat untuk membuat hadis yang bersangkutan.
Muhammad Abu syuhbah dalam kitabnya al-Wasith
fi ‘Ulum wa Musthalah al-Hadits mendefinisikan hadis mutawatir sebagai
berikut:
مَا رَوَاهُ
جَمعٌ يَحِيلُ العَقلُ وَالعَادَةُ تَوَاطُؤُهُم عَلى الكَذِبِ عَن مِثلِهِم مِن
اَوَّلِ السَّنَدِ اِلَى مُنتَهَاهُ عَلىَ اَن لاَيَختَلَ هَذَاالجَمعُ فِى ايِّ
طَبَقَةٍ مِن طَبَقَاتِ السَّنَد وَيَكُونَ مَرجِعُهُ اِلَى الحِسِّ مِن مَشَاهِدٍ
اَومَسمُوعٍ اَو نَحوِذَلِكَ
“Hadis yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut adat
kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan)
dari sejumlah periwayat dengan jumlah yang sepadan semenjak sanad pertama
sampai sanad terakhir dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap
tingkatan sanadnya dan sandaran beritanya berdasarkan sesuatu yang dapat
diindera seperti disaksikan, didengar ataupun sebagainya.”
Berdasarkan kedua definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis shohih yang
diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut logika dan adat istiadat
mustahil mereka sepakat berdusta. Hadis itu diriwayatkan oleh banyak periwayat
pada awal, tengah, sampai akhir sanad dengan jumlah tertentu. Sandaran
beritanya berdasarkan sesuatu yang dapat di indera seperti di saksikan, di
dengar, di raba, di cium, maupun di rasa.[5]
C.
Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Para
ahli hadis dalam mensyaratkan hadis mutawatir tidak jauh berbeda antara satu
dengan yang lain, yaitu:
1.
Hadis
itu diperoleh dari Nabi atas dasar panca indera yang yakin (yakni bahwa perawi
dalam memperoleh hadis Nabi, haruslah benar-benar hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri).
2.
Jumlah
rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat
untuk berdusta.[6]
Adapun tentang
jumlah bilangan perawi, para ulama berbeda pendapat:
a)
Abu
Thayyib menetapkan, minimal 4 orang. Dengan alasana mengqiyaskan terhadap
ketentuan bilangan saksi yang diperlukan dalam suatu perkara. Misalnya dalam
penuduhan zina.
b)
Sebagian
golongan syafi’i menetapkan minimal 5 orang. Dengan alasan mengqiyaskan pada
jumlah 5 Nabi yang bergelar “Ulul Azmi”.
c)
Sebagian
ulama ada yang menetapkan, minimal 20 orang. Dengan alasan mengqiyaskan
bilangan 20 orang yang disebut dalam QS. Al-Anfal: 65
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى
الْقِتَالِ ۚ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ
ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
“Hai
Nabi (Muhammad), kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua
puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua
ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang
kafir itu kaum yang tidak mengerti”. (QS. Al-Anfal:65)
d)
Sebagian
ulama ada yang menetapkan minimal 40 orang, ada yang menetapkan minimal 10
orang, 12 orang, 70 orang dan lain-lain. 3. Ada kesinambungan jumlah perawi
antara thabaqah masing-masing. Dengan demikian, bila jumlah perawi pada
thabaqah pertama sekitar 10 orang, maka pada thabaqah-thabaqah lainnya juga
harus sekitar 10 orang (M. Syuhudi Ismail, 1991: 136).
3.
Adanya
keseimbangan jumlah antara rowi-rowi dalam thobaqoh (tingkatan) berikutnya.
Dengan demikian, bila jumlah perawi pada thabaqah pertama sekitar 10 orang,
maka pada thabaqah-thabaqah lainnya juga harus sekitar 10 orang (M. Syuhudi
Ismail, 1991: 136).[7]
D.
Macam-macam Hadits Mutawatir
Hadis
mutawatir dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.
Mutawatir
Lafdhi yaitu hadis yang diriwayatkan oleh
banyak orang yang susunan redaksi dan maknanya seragam antar periwayat yang
satu dengan yang lainnya. Contoh hadis lafdhi:
.قـَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. رواه البخارى)
Rasulullah bersabda : “Barang
siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah dia menduduki tempat duduk
di neraka”. (HR. Bukhari)[8]
Ada tiga pendapat
tentang periwayat hadis tersebut, yaitu: menurut Alwiy al-Maliki diriwayatkan
oleh 62 orang sahabat[9],
menurut Al-Bazzar, diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Dan Al-Nawawi menyatakan
bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.[10]
2.
Mutawatir
ma’nawi yaitu hadis yang lafadh dan maknanya berlainan
antara riwayat satu dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna
secara umum (kulli). Contoh hadits ma’nawi:
كَانَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم لاَيَرفعُ يديهِ في شيءٍ من
دعائهِ الا في الاءِستقاَءِ وانَّه يرفع حتَّى يرَى بيا ضُ اِبطَيهِ. (رواه
البخاري)
Nabi
SAW, tidak mengangkat kedua tangannya dalam do’a-do’a beliau, kecuali dalam
sholat istisqo’, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih
kedua ketiaknya. (HR. Bukhari)[11]
3. Mutawatir ‘Amali yaitu hadis yang menyangkut perbuatan Rasulullah yang disaksikan
dan ditiru tanpa perbedaan oleh banyak orang, kemudian juga dicontoh dan
diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya,
yang dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis:
مَاعُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ وَتَوَاتَرَ
بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَعَلَهُ أَوْأَمَرَبِهِ أَوْعَيْرَ ذَلِكَ وَهُوَالّذِي يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ
تَعْرِيْفُ الاِجْمَاعِ اِنْطِبَاقًا صَحِيْحًا.
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah
bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat islam bahwa Nabi Saw.
mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat
dikatakan soal yang telah disepakati”.
Contoh hadis mutawatir a’mali adalah
berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat. [12]
E.
Pengertian
Hadits Ahad
Terdapat banyak pengertian tentang hadis Ahad, antara yang satu
dengan yang lain tidak jauh berbeda. Diantaranya:
“Suatu hadis (habar) yang jumlah pemberitaanya tidak mencapai
jumlah pemberita hadis Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tida
orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak
memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis Mutawatir”. (Rajaa Mustafa
Hazin, 74)[13]
Hadis ahad ialah hadis yang
jumlah rawinya tidak mencapai jumlah mutawatir, tidak memenuhi
persyaratan Mutawatir dan tidak pula mencapai derajat Mutawatir, sebagaimana
dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis:
هومالا ينتهى الى التّواتر
“Hadis
yang tidak mencapai derajat Mutawatir”[14]
Definisi ini tampaknya diambil dari mafhum mukhalafah (kebalikan)
dari definisi mutawatir.[15]
Karena hadis Ahad ini jelas tidak mencapai derajat Mutawatir, maka
keterikatan orang Islam terhadap hadis Ahad ini tergantung pada kualitas
periwayatnya dan kualitas persambungan sanadnya. Bila sanad hadis itu lemah,
maka tidak dapat mengikat orang Islam untuk menggunakannya sebagai dasar
beramal. Sebaliknya, bila sanadnya bagus maka menurut Jumhur, hadis itu boleh
dijadikan dasar. (Muh. Zuhri, 1997:86)
F.
Pembagian Hadits Ahad
Klasifikasi
hadits Ahad dari segi jumlah perowi terbagi tiga, yaitu:
1.
Hadis
Masyhur
(hadis Mustafid)
Menurut
bahasa, masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah
tersebar, sudah populer. Adapun menurut istilah, hadis masyhur adalah:
مَا رَوَاهُ ثَلاَثَةٌ فَاَكْثَرَ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ
مَالَمْ يَبْلُغْ حَدَّ التَّوَاتُرِ
“Hadis
yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap thabaqah tidak
mencapai derajat mutawatir”.[16]
Hadis
Masyhur ada dua macam, yaitu:
a. Hadis
Muthlaq
yaitu hadis termasyhur di kalangan ahli hadis dan lainnya (golongan ahli ilmu
dan orang umum), seperti hadis:
عن عبد الله بن عمرورضي الله عنهما عن النبي صل
الله عليه وسلم قال : المسلمون منْ سَلِمَ االمسلمون مِنْ لِسانِهِ ويَدِهِ. (رواه
البخارى ومسلم)
“Seorang muslim ialah
orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan
tangannya”.[17]
Hadits diatas diriwayatkan pula
oleh Abu Daud, an Nasai, at Turmudzy dan ad-Darimi dari sahabat yang berbeda;
Jabir, Abu Musa, Abdullah bin Amr bin al-Ash.
b. Hadis Muqoyyad yaitu
hadis yang termasyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya di kalangan
ahli hadis saja, atau ahli fiqih saja, ahli tasawuf saja dan sebagainya.[18]
Seperti hadis yang termasyhur di
kalangan ulama fiqih saja:
لاَصَلاَةِ
لِجَارِالمسجِدِ (رواه الدا رقطنى عن أبى هريرة)
“Tidaklah sah shalat bagi orang yang
berdekatan dengan masjid, selain shalat di dalam masjid.” (HR.
Ad-Dar Qath’ni)[19]
2. Hadis Aziz
Aziz
menurut bahasa adalah Asy-Safief (yang mulia), An-Nadir (yang
sedikit wujudnya), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa’alaih (yang sukar
diperoleh), dan Al-Qawiyu (yang kuat).[20]
Adapun
menurut istilah, hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh 2 orang
rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian
setelah itu orang-orang meriwayatkannya.[21]
Contoh hadis
aziz pada thabaqah pertama:
نَحْنُ الاَخِرُوْنَ السَّابِقُوْنَ يَوْمَ
القِيَامَتِ (رواه احمد و النسائ)
“Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang
terdahulu pada hari kiamat.”
3. Hadis Gharib
Gharib secara bahasa adalah badi’un ‘anil
wathani (yang jauh dari tanah), dan kalimat yang sukar dipahami. Adapun
menurut hadis gharib adalah hadis
yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di
mana saja penyendiriannya itu terjadi.
Hadis Gharib dibagi menjadi dua bagian, yaitu
:
a. Gharib
Mutlaq
ialah hadis yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadis itu. Penyendirian
rawi hadis gharib mutlaq itu berpangkal pada tempat ahlus sanad, yakni
tabiin bukan sahabat.
Seperti hadis:
اَلْوَلاَءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ
النّسَبِ لاَيُباَعُ وَلاَ يُوَهَبُ
“Hubungan kekerabatan dari budak
adalah sama seperti hubungan kekerabatan nasab, tidak boleh dijual dan
dihibahkan”.
Hadis itu hanya diriwayatkan oleh
seorang rawi, yaitu Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar.
b. Gharib
Nisbi ialah
apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang
rawi, antara lain:
v Sifat keadilan dan ke-dhabit-an
rawi
v Kota atau tempat tinggal tertentu
v Meriwayatkan dari orang tertentu[22]
BAB III
PENUTUP
Ditinjau dari kuantitas(jumlah) perawi atau sanadnya,
hadis terbagi menjadi 2 macam, yakni hadis mutawatir dan hadis ahad, jika
memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya tidak terbatas pada bilangan, maka
disebut hadis mutawatir. Namun jika memiliki
jalur (sanad) yang jumlah perawinya bisa dihitung dengan bilangan tertentu maka
disebut hadis ahad.
Hadis mutawatir dibagi menjadi 3 macam,
yaitu:
1. Mutawatir Lafdhi
2. Mutawatir Ma’nawi
3. Mutawatir ‘Amali
Sedangkan hadis ahad dibagi
menjadi 3 macam, yaitu:
1. Hadis Masyhur
2. Hadis Gharib
3. Hadis Aziz
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiedieqy,
T.M. Hasbi. 1988, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang
Dr. Idri, M.
Ag. 2010, Studi Hadis, Jakarta: Kencana
Nevawan, SH,
Tafieldi. 2005. Musthalah Hadis,
Karawang: Yayasan Bina Ukhuwah
Rahman,
Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushtalah Al-Hadis, Bandung: Al-Ma’arif
Solahudin, M.
Ag, Drs. M. Agus, dkk. 2008. Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia
Sulaiman PL, M.
Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadis, Jakarta: Gaung Persda Pres
Suryadilaga, M.
Alfatih, dkk. 2015. Ulumul Hadis, Yogyakarta: Kalimedia
Zuhri,
Saifudin. 2008. Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama
terhadap Hadis Ahad, Surakarta: Suhuf
[1]Drs. M. Agus
Sholahudin, M. Ag, dkk. Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
hlm. 129
[2]Saifuddin
Zuhri. Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama terhadap
Hadis Ahad. (Surakarta: Suhuf, 2008), hlm. 54-55
[3]Dr. Idri, M.
Ag. Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 130
[4]Ibid.,
[6]Drs. M. Agus
Solahudin, M. Ag. Op.Cit., hlm. 130
[7]Saifuddin
Zuhri. Op.Cit., hlm.56-57
[8]Tafieldi
Nevawan. Musthalah Hadis, (Karawang: Bina Ukhuwah, 2005), hlm. 8
[9]M. Alfath
Suryadilaga, dkk. Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm. 229
[10]M. Noor
Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persda Pres, 2008). hlm. 88.
[11]Drs. M. Agus
Solahudin, M. Ag. Op.Cit., hlm. 132
[18]Tafieldi
Nevawan, SH. Musthalah Hadis, (Karawang: Yayasan Bina Ukhuwah, 2005),
hlm. 9
[20]T.M. Hasbi
Ash-Shiedieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis. (Jakarta: Bulan Bintang.
1988), hlm. 75
[21]Fatchur Rahman.
Ikhtisar Mushthalah Al-Hadis, (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), hlm. 93
[22]Drs. M. Agus
Solahudin, M. Ag, dkk. Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm.
136-139







0 komentar:
Posting Komentar