Kamis, 12 Januari 2017

HADIS MUTAWATIR DAN AHAD




HADITS MUTAWATIR DAN HADITS AHAD


MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah                :  Ulumul Hadits
Dosen Pengampu        :  Abdul Kholid Ma’rufi, M. Pd. I



Disusun Oleh :
1.      Rinci Apriani Dwi                 (2021115221)
2.      Sinta Setia Sukma                 (2021115226)
3.      Intan Fitria Maharani            (2021115245)


Kelas A

SEKOLAH TINGGI ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2016


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT yang di sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Sedangkan sunah adalah segala perbuatan, perkataan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW yang sesuai dengan syari’at syara’ maupun tidak.
Apabila sunah dilihat dari segi riwayat, penyampaian secara lisan dari segala keterangan Nabi Muhammad SAW, maka sunah mempunyai kualitas yang bertingkat-tingkat, ada yang kuat dan lemah. Sedangkan dalam menyampaikan sebuah sunah terkadang Nabi Muhammad SAW berhadapan dengan orang-orang yang jumlahnya cukup banyak, terkadang satu atau dua orang maupun beberapa orang. Inilah sunah dari segi kuantitasnya.
Pembagian hadis di lihat dari segi kuantitasnya, hadis dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang jumlah sanad perawinya tidak terbatas pada bilangan. Sedangkan hadis ahad adalah hadis yang jumlah sanad perawinya bisa di hitung dengan bilangan tertentu.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pembagian hadis Mutawatir dan hadis Ahad?
2.    Apakah pengertian dari hadis Mutawatir ?
3.    Apakah syarat-syarat dari hadis Mutawatir ?
4.    Bagaimana klasifikasi hadis Mutawatir ?
5.    Apakah pengertian dari hadis Ahad ?
6.    Bagaimana klasifikasi hadis Ahad ?
7.    Sebutkan skema Hadis dalam Bagan!





BAB II
PEMBAHASAN


A.  Pembagian Hadits Ahad dan Hadits Mutawatir
Hadis ditinjau dari segi sedikit banyaknya rawi yang menjadi sumber berita terbagi menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.[1]
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis jika ditinjau dari segi kuantitas atau sedikit-banyaknya rawi yang menjadi sumber berita.
1.    Menurut sebagian ulama ushul fiqih dan ulama fiqih, pembagian hadis dari segi jumlah rawinya dibagi menjadi 3 bagian, yaitu hadis Mutawatir, hadis Masyhur, dan Hadis Ahad. Menurutnya hadis Masyhur itu berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadis Ahad.
2.    Menurut kebanyakan ulama Hadis, pembagian hadis dari segi jumlah rawinya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu hadis Mutawatir dan hadis Ahad. Ini pembagian yang lebih praktis karena pada dasarnya hadis Masyhur tercakup dalam hadis Ahad. (Hasbi as Shiddiqi, 1993: 200)[2]
B.  Pengertian Hadits Mutawatir
Secara bahasa, kata mutawatir merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur yang bermakna al-tatabu’ (berturut-turut) atau مَجِئُ الشَّئِ يَتلو بعضهُ بعضاً من غيْرِتَخَلُّلِ (datangnya sesuatu secara berturut-turut dan bergantian tanpa ada yang menyela).[3]
Secara istilah menurut Mahmud al-Thahhan, definisi hadis mutawatir adalah:
مَا رَوَاهُ عَدَدٌ كَثِيرٌ تَحِيلُ العَادَةُ تَوَا طُؤُهُم عَلى الكَذِبِ
“Hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan)”.[4]        
Dari definisi diatas, menurutnya adalah hadis atau khabar yang diriwayatkan oleh para periwayat yang banyak pada tiap thabaqah (tingkatan/generasi) sanadnya yang menurut akal dan adat kebiasaan mustahil para periwayat itu sepakat untuk membuat hadis yang bersangkutan.
Muhammad Abu syuhbah dalam kitabnya al-Wasith fi ‘Ulum wa Musthalah al-Hadits mendefinisikan hadis mutawatir sebagai berikut:
مَا رَوَاهُ جَمعٌ يَحِيلُ العَقلُ وَالعَادَةُ تَوَاطُؤُهُم عَلى الكَذِبِ عَن مِثلِهِم مِن اَوَّلِ السَّنَدِ اِلَى مُنتَهَاهُ عَلىَ اَن لاَيَختَلَ هَذَاالجَمعُ فِى ايِّ طَبَقَةٍ مِن طَبَقَاتِ السَّنَد وَيَكُونَ مَرجِعُهُ اِلَى الحِسِّ مِن مَشَاهِدٍ اَومَسمُوعٍ اَو نَحوِذَلِكَ
“Hadis yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan) dari sejumlah periwayat dengan jumlah yang sepadan semenjak sanad pertama sampai sanad terakhir dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya dan sandaran beritanya berdasarkan sesuatu yang dapat diindera seperti disaksikan, didengar ataupun sebagainya.”
Berdasarkan kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis shohih yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut logika dan adat istiadat mustahil mereka sepakat berdusta. Hadis itu diriwayatkan oleh banyak periwayat pada awal, tengah, sampai akhir sanad dengan jumlah tertentu. Sandaran beritanya berdasarkan sesuatu yang dapat di indera seperti di saksikan, di dengar, di raba, di cium, maupun di rasa.[5]  
C.  Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Para ahli hadis dalam mensyaratkan hadis mutawatir tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain, yaitu:
1.    Hadis itu diperoleh dari Nabi atas dasar panca indera yang yakin (yakni bahwa perawi dalam memperoleh hadis Nabi, haruslah benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri).
2.    Jumlah rawinya harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta.[6]
Adapun tentang jumlah bilangan perawi, para ulama berbeda pendapat:
a)    Abu Thayyib menetapkan, minimal 4 orang. Dengan alasana mengqiyaskan terhadap ketentuan bilangan saksi yang diperlukan dalam suatu perkara. Misalnya dalam penuduhan zina.
b)   Sebagian golongan syafi’i menetapkan minimal 5 orang. Dengan alasan mengqiyaskan pada jumlah 5 Nabi yang bergelar “Ulul Azmi”.
c)    Sebagian ulama ada yang menetapkan, minimal 20 orang. Dengan alasan mengqiyaskan bilangan 20 orang yang disebut dalam QS. Al-Anfal: 65
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ ۚ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
“Hai Nabi (Muhammad), kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”. (QS. Al-Anfal:65)
d)   Sebagian ulama ada yang menetapkan minimal 40 orang, ada yang menetapkan minimal 10 orang, 12 orang, 70 orang dan lain-lain. 3. Ada kesinambungan jumlah perawi antara thabaqah masing-masing. Dengan demikian, bila jumlah perawi pada thabaqah pertama sekitar 10 orang, maka pada thabaqah-thabaqah lainnya juga harus sekitar 10 orang (M. Syuhudi Ismail, 1991: 136).
3.    Adanya keseimbangan jumlah antara rowi-rowi dalam thobaqoh (tingkatan) berikutnya. Dengan demikian, bila jumlah perawi pada thabaqah pertama sekitar 10 orang, maka pada thabaqah-thabaqah lainnya juga harus sekitar 10 orang (M. Syuhudi Ismail, 1991: 136).[7]
D.  Macam-macam Hadits Mutawatir
Hadis mutawatir dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.    Mutawatir Lafdhi yaitu hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang yang susunan redaksi dan maknanya seragam antar periwayat yang satu dengan yang lainnya. Contoh hadis lafdhi:
.قـَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. رواه البخارى)
Rasulullah bersabda : “Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah dia menduduki tempat duduk di neraka”.  (HR. Bukhari)[8]
Ada tiga pendapat tentang periwayat hadis tersebut, yaitu: menurut Alwiy al-Maliki diriwayatkan oleh 62 orang sahabat[9], menurut Al-Bazzar, diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Dan Al-Nawawi menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.[10]
2.    Mutawatir ma’nawi yaitu hadis yang lafadh dan maknanya berlainan antara riwayat satu dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Contoh hadits ma’nawi:
كَانَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم لاَيَرفعُ يديهِ في شيءٍ من دعائهِ الا في الاءِستقاَءِ وانَّه يرفع حتَّى يرَى بيا ضُ اِبطَيهِ. (رواه البخاري)
Nabi SAW, tidak mengangkat kedua tangannya dalam do’a-do’a beliau, kecuali dalam sholat istisqo’, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya. (HR. Bukhari)[11]
3.    Mutawatir ‘Amali yaitu hadis yang menyangkut perbuatan Rasulullah yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh banyak orang, kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya, yang dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis:

مَاعُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ وَتَوَاتَرَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهُ أَوْأَمَرَبِهِ أَوْعَيْرَ ذَلِكَ وَهُوَالّذِي يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ تَعْرِيْفُ الاِجْمَاعِ اِنْطِبَاقًا صَحِيْحًا.
Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat islam bahwa Nabi Saw. mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati”.
Contoh hadis mutawatir a’mali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat. [12]
E.   Pengertian Hadits Ahad
Terdapat banyak pengertian tentang hadis Ahad, antara yang satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Diantaranya:
“Suatu hadis (habar) yang jumlah pemberitaanya tidak mencapai jumlah pemberita hadis Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tida orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis Mutawatir”. (Rajaa Mustafa Hazin, 74)[13]
Hadis ahad ialah hadis yang  jumlah rawinya tidak mencapai jumlah mutawatir, tidak memenuhi persyaratan Mutawatir dan tidak pula mencapai derajat Mutawatir, sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis:
هومالا ينتهى الى التّواتر
“Hadis yang tidak mencapai derajat Mutawatir”[14]
Definisi ini tampaknya diambil dari mafhum mukhalafah (kebalikan) dari definisi mutawatir.[15]
Karena hadis Ahad ini jelas tidak mencapai derajat Mutawatir, maka keterikatan orang Islam terhadap hadis Ahad ini tergantung pada kualitas periwayatnya dan kualitas persambungan sanadnya. Bila sanad hadis itu lemah, maka tidak dapat mengikat orang Islam untuk menggunakannya sebagai dasar beramal. Sebaliknya, bila sanadnya bagus maka menurut Jumhur, hadis itu boleh dijadikan dasar. (Muh. Zuhri, 1997:86)
F.   Pembagian Hadits Ahad
Klasifikasi hadits Ahad dari segi jumlah perowi terbagi tiga, yaitu:
1.    Hadis Masyhur (hadis Mustafid)
Menurut bahasa, masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah populer. Adapun menurut istilah, hadis masyhur adalah:
مَا رَوَاهُ ثَلاَثَةٌ فَاَكْثَرَ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ مَالَمْ يَبْلُغْ حَدَّ التَّوَاتُرِ
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap thabaqah tidak mencapai derajat mutawatir”.[16]
   Hadis Masyhur ada dua macam, yaitu:
a.    Hadis Muthlaq yaitu hadis termasyhur di kalangan ahli hadis dan lainnya (golongan ahli ilmu dan orang umum), seperti hadis:
عن عبد الله بن عمرورضي الله عنهما عن النبي صل الله عليه وسلم قال : المسلمون منْ سَلِمَ االمسلمون مِنْ لِسانِهِ ويَدِهِ. (رواه البخارى ومسلم)
“Seorang muslim ialah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya”.[17]
Hadits diatas diriwayatkan pula oleh Abu Daud, an Nasai, at Turmudzy dan ad-Darimi dari sahabat yang berbeda; Jabir, Abu Musa, Abdullah bin Amr bin al-Ash.
b.    Hadis Muqoyyad yaitu hadis yang termasyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya di kalangan ahli hadis saja, atau ahli fiqih saja, ahli tasawuf saja dan sebagainya.[18]
Seperti hadis yang termasyhur di kalangan ulama fiqih saja:
لاَصَلاَةِ لِجَارِالمسجِدِ (رواه الدا رقطنى عن أبى هريرة)
“Tidaklah sah shalat bagi orang yang berdekatan dengan masjid, selain shalat di dalam masjid.” (HR. Ad-Dar Qath’ni)[19]
2. Hadis Aziz
Aziz menurut bahasa adalah Asy-Safief (yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa’alaih (yang sukar diperoleh), dan Al-Qawiyu (yang kuat).[20]
Adapun menurut istilah, hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.[21]
Contoh hadis aziz pada thabaqah pertama:
نَحْنُ الاَخِرُوْنَ السَّابِقُوْنَ يَوْمَ القِيَامَتِ (رواه احمد و النسائ)
“Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari kiamat.”
3. Hadis Gharib
Gharib secara bahasa adalah badi’un ‘anil wathani (yang jauh dari tanah), dan kalimat yang sukar dipahami. Adapun menurut  hadis gharib adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendiriannya itu terjadi.
Hadis Gharib dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a.    Gharib Mutlaq ialah hadis yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadis itu. Penyendirian rawi hadis gharib mutlaq itu berpangkal pada tempat ahlus sanad, yakni tabiin bukan sahabat.
Seperti hadis:
اَلْوَلاَءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ النّسَبِ لاَيُباَعُ وَلاَ يُوَهَبُ
Hubungan kekerabatan dari budak adalah sama seperti hubungan kekerabatan nasab, tidak boleh dijual dan dihibahkan”.
Hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, yaitu Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar.


b.    Gharib Nisbi ialah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi, antara lain:
v Sifat keadilan dan ke-dhabit-an rawi
v Kota atau tempat tinggal tertentu
v Meriwayatkan dari orang tertentu[22]


 


BAB III
PENUTUP


Ditinjau dari kuantitas(jumlah) perawi atau sanadnya, hadis terbagi menjadi 2 macam, yakni hadis mutawatir dan hadis ahad, jika memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya tidak terbatas pada bilangan, maka disebut hadis mutawatir. Namun jika memiliki jalur (sanad) yang jumlah perawinya bisa dihitung dengan bilangan tertentu maka disebut hadis ahad.
Hadis mutawatir dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
1.    Mutawatir Lafdhi
2.    Mutawatir Ma’nawi
3.    Mutawatir ‘Amali
Sedangkan hadis ahad dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
1.    Hadis Masyhur
2.    Hadis Gharib
3.    Hadis Aziz



















DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiedieqy, T.M. Hasbi. 1988, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis,  Jakarta: Bulan Bintang
Dr. Idri, M. Ag. 2010, Studi Hadis, Jakarta: Kencana
Nevawan, SH, Tafieldi. 2005. Musthalah Hadis,  Karawang: Yayasan Bina Ukhuwah
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushtalah Al-Hadis, Bandung: Al-Ma’arif
Solahudin, M. Ag, Drs. M. Agus, dkk. 2008. Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia
Sulaiman PL, M. Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadis, Jakarta: Gaung Persda Pres
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. 2015. Ulumul Hadis, Yogyakarta: Kalimedia
Zuhri, Saifudin. 2008. Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama terhadap Hadis Ahad, Surakarta: Suhuf



[1]Drs. M. Agus Sholahudin, M. Ag, dkk. Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 129
[2]Saifuddin Zuhri. Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama terhadap Hadis Ahad. (Surakarta: Suhuf, 2008), hlm. 54-55
[3]Dr. Idri, M. Ag. Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 130
[4]Ibid.,
[5]Ibid., hlm. 131-132
[6]Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag. Op.Cit., hlm. 130
[7]Saifuddin Zuhri.  Op.Cit., hlm.56-57
[8]Tafieldi Nevawan. Musthalah Hadis, (Karawang: Bina Ukhuwah, 2005), hlm. 8
[9]M. Alfath Suryadilaga, dkk. Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm. 229
[10]M. Noor Sulaiman PL,  Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persda Pres, 2008). hlm. 88.
[11]Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag. Op.Cit., hlm. 132
[12]Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag. Op.Cit., 132  
[13]Op.Cit., Saifuddin Zuhri. Hlm. 59   
[14]Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag. Op.Cit.,  133
[15]Op.Cit., M. Alfath Suryadilaga, dkk , hlm. 230
[16]Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag. Op.Cit.,  134
[17]Ibid., hlm. 134-135
[18]Tafieldi Nevawan, SH. Musthalah Hadis, (Karawang: Yayasan Bina Ukhuwah, 2005), hlm. 9
[19]Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag. Op.Cit.,  135
[20]T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis. (Jakarta: Bulan Bintang. 1988), hlm. 75
[21]Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadis, (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), hlm. 93
[22]Drs. M. Agus Solahudin, M. Ag, dkk. Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 136-139

0 komentar:

Posting Komentar